Aceh dan Jepang memiliki pengalaman bencana yang sama yaitu gempa bumi.
Melalui kerjasama dengan organisasi di Aceh dan organisasi non-profit dari Jepang yang bernama “Chikyuu Taiwa Rabo” atau The Laboratory of Global Dialogue mengadakan program kerjasama yang bersumber dari pengalaman bencana alam agar menjadi pembelajaran untuk ke masa yang akan datang.
Sudah selang 12 tahun bencana gempa dan tsunami di Sumatera terjadi, dan kini baik anak anak korban tsunami Aceh maupun anak-anak Higashi Matsushima Miyato Jima, mereka sama sama membuat Gambar Lukisan tentang “Masa Depan” yang di pamerkan di Museum Tsunami. Bersamaan dengan hal tersebut, seniman modern Jepang yang bernama Mr. Atsushi Kadowaki, membuat sebuah “Community Art” sebagai simbol untuk mengenang bencana gempa dan tsunami di Aceh.
Sekolah Dasar Miyato yang berada di daerah Matsushima Timur Prefecture Miyagi merupakan sekolah yang sama-sama tekena dampak kerusakan akibat tsunami dan sejak tahun 2013 sekolah ini memiliki kerjasama international dengan Aceh, Indonesia. Akan tetapi sangat disayangkan karena jumlah penduduk semakin menurun, Sekolah Dasar Miyato ditutup sejak musim semi tahun 2016. Akan hal tersebut, lukisan dinding yang dibuat beberapa waktu lalu oleh anak-anak Sekolah Dasar Miyato dengan tema “Miyato 10 tahun yang akan datang” dibawa ke Museum Tsunami Aceh dan dipajang bersamaan dengan gambar yang dibuat oleh anak-anak Aceh dengan tema “Aceh 10 tahun yang akan datang”. Setelah bencana gempa dan tsunami yang lalu, lukisan dinding ini menjadi pelipur lara bagi masyarakat Miyatojima. Menurut masyarakat Miyatojima, lukisan ini merupakan peninggalan setelah bencana yang sangat berharga. Dengan adanya dua lukisan dinding ini diharapkan membawa banyak harapan kepada dunia.
Bagi pengunjung yang datang berkunjung ke PLTD Apung dan juga daerah sekitarnya yang bernama Punge Blang Cut, mereka dapat langsung merasakan bagaimana dahsyatnya kekuatan tsunami dan melihat perkembangan rekonstruksi yang berlangsung sampai sekarang. Sebagai orang Jepang yang datang ke Aceh, saya sendiri langsung berpikir, peran apakah yang bisa saya lakukan untuk Aceh?. ketika saya bertanya kepada warga sekitar yang ada di Punge Blang Cut, banyak dari mereka yang berkata, “Aceh dan Tohoku hubungannya bagaikan saudara kandung”. Oleh karena itu, apabila ada hal yang bisa saya lakukan, mungkin dari apa yang masyarakat Punge Blang Cut katakan, sebagai saudara kandung, meskipun negara dan bahasa kita berbeda, kami semua bisa berbagi pengalaman dan perasaan kita bersama. Oleh karena itu, saling berbagilah yang akan saya lakukan.
Dengan bantuan dan kerjasama dari warga sekitar, anak muda Aceh, bersama anak-anak SMA akan membuat sebuah kerajinan menggunakan benang wol putih yang dikaitkan pada kapal dan daerah sekitarnya. Ketika pameran sudah siap, anak-anak muda ini harus dapat bisa menjelaskan kenapa pameran ini diadakan. Hal ini bukan hanya berguna untuk melatih kemampuan komunikasi mereka, tapi hal ini juga dapat merubah pandangan mereka terhadap bencana alam. Layaknya salju yang mencair menjelang musim semi, saya harap kegiatan ini dapat menjadi sebuah perubahan ke “musim” selanjutnya.
Inilah salah satu ide kami yang diharapkan dapat berguna untuk menyampaikan akan pentingnya kesadaran kita terhadap bencana alam dalam mengenang tahun ke dua belas musibah bencana tsunami di Sumatera.
Sebagai acara pembukaan, pada 25 Desember
The Laboratory for Global Dialogue adalah sebuah lembaga kegiatan pertukaran international dengan cara berdialog melalui jaringan internet teleconference antar masyarakat ataupun anak-anak dari Jepang dengan negara-negara. Selain itu, kegiatan The Laboratory for Global Dialogue ini memberikan kesempatan kepada masyarakat maupun anak-anak dengan menyelenggarakan kegiatan pembuatan video yang bertujuan untuk dapat mengungkapkan pemikiran masyarakat juga anak-anak. Kerjasama dengan Aceh ini sudah dimulai sejak tahun 2013 dengan Sekolah Dasar Miyatojima yang sekarang sudah dilebur dan bergabung dengan Sekolah Dasar Miyanomori.
Kougetsu School Association ( KSA ) adalah sebagai wadah silaturrahmi bagi para alumni Kougetsu School . Kougetsu school sendiri merupakan salah satu program kegiatan Lembaga Lost Children Operation Yaitu kegiatan belajar mengajar bahasa inggris dan bahasa jepang gratis yang dilaksanakan di SMPN 1 Peukan Bada. Meningkatan sumber daya manusia (SDM) melalui pendidikan bahasa dan seni budaya, serta berkontribusi untuk mengajar bahasa Jepang-Inggris untuk anak-anak yang tinggal di tempat terpencil. Kegiatan-kegiatan yang telah/sedang dilakukan oleh KSA antara lain proses mengajar bahasa Jepang dan bahasa Inggris gratis di Yayasan Walyatama Peukan Bada, Sd Lamlhom dan SD Lambaro nijid. Sampai saat ini KSA telah melakukan kerjasama dengan berbagai pihak yaitu, NPO PAC Japan, NPO Chikyuu Taiwa Rabo Japan, dan Ibu yoko Takafuji dari Rikkyo University Japan. Mulai tahun 2017 KSA akan melanjutkan kegiatan JGA ( Beasiswa Yatim dan Piatu Tsunami ) dan Kougetsu School yang sebelumnya dikelola oleh Lost Children Operation.
Taman Pendidikan Masyarakat (TPM) Tanyoe adalah sebuah lembaga pendidikan non formal yang terletak di Desa Lambirah, Kecamatan Sukamakmur, Kabupaten Aceh Besar. Visi dan Misi TPM Tanyoe adalah untuk mencerdaskan anak-anak bangsa, khususnya mereka yang tinggal di daerah-daerah pelosok, dengan memberikan pendidikan gratis bagi mereka. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan di TPM Tanyoe antara lain proses belajar sambil bermain, kesenian, kerajinan tangan dan olahraga. Selain itu, selama tiga tahun ini TPM juga bekerja sama dengan Pak Watanabe dari NPO Chikyu Taiwa Rabo Jepang, dan sudah ada tiga orang pengurus TPM ini yang dibawa ke Jepang melalui kerja sama dengan NPO Chikyu Taiwa Rabo ini.
Seniman Modern Art lahir dan tinggal di daerah Tohoku Jepang. Dengan ide “Community Art” nya di setiap daerah di Jepang, Mr.Kadowaki berusaha mengangkat nilai lebih dari suatu daerah dan menciptakan sebuah tempat berinteraksi dengan adanya kerjasama kegiatan antara seniman dan warga sekitar. Sebagai bentuk kegiatan membangun kembali daerah Timur Jepang setelah adanya bencana alam gempa dan tsunami, Mr. Kadowaki juga membuat kegiatan yang bernama “Oshiruko Caffe” dan menerbitkan “Koran Anak Ishinomaki”.